Rabu, 12 September 2012

Air

Karya : Djenar Maesa Ayu, Seorang Sastrawati Kontroversial. . Jakarta, 13 Agustus 2012. 12:24:00 PM. 

Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.
Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya.
Saya akan menjaganya.

Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya. Terus menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah. Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran baru eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi. Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang konon bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi…

“Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil,” kata supervisor saya.

Saya akan menjaganya.

Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus menunggu dua pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami. Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya khawatir tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari saja pas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi yang ada, belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking. Kepala saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi saya berkata dengan yakin.

“Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.”

Saya akan menjaganya

Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi ruangan melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah. Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya. Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya. Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami lagi, ketika suster itu berkata, “Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI. Sekarang kami akan membawanya ke kamar bayi.”

Saya akan menjaganya.

Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya. Suster yang sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar lagi akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya begitu tak sabar menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa berat.

“Benar Ibu sudah siap?”

Saya akan menjaganya

Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya. Cukup lama saya harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian. Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan. Harapan akan segera pulang. Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulang membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat kaki ongkang-ongkang. Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia. Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang memilikinya. Bermain dengan penguin-penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada di Hawaii sambil menyaksikan tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya akan membeli rumah berikut taman bermain milik raja pop Michael Jackson yang tengah bangkrut. Membeli apa pun yang ia inginkan semudah orang membuang kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi jika harapan-harapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi kenyataan. Karena sudah beribu-ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit uang. Hanya cukup untuk makan sekadar, membayar listrik, air, telepon, kontrakan, dan sekolah yang semakin hari harganya semakin tinggi menjulang. Dan saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan saya pergi. Tetap menunggu saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu saya pulang.

“Capek ah nunggu, aku udah mau tidur!” semprotnya.

Saya akan menjaganya.
Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk pemeras keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan dimulai merekam adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi kepala saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada yang mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah begitu ingin cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti burung tanpa harus terhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati indahnya kelap kelip lampu jalan seperti dongeng anak-anak Peter Pan. Lampaui semua beban. Lampaui semua luka dan penderitaan. Kadang saya juga ingin melayang jauh ke masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu lengket di indung telur hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir sebagai manusia yang merasa disia-siakan. Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau. Tak bertemu dengan ayahnya yang dengan mudahnya lepas tangan.

“Action!” teriak sutradara.

Saya akan menjaganya.

Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya, kini telah berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah ia sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahan yang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan. Apakah yang sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan? Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup kedua matanya yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih lengket. Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul segala lelah segala penat.

“Bangsaaaaaaaat!”

Saya tak kuasa menjaganya

Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siap menerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong yang berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu. Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu saya pulang selepas kerja membawa sedikit uang dan satu kantung plastik berisi sepatu baru.

Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak obat penenang. Menunggu. Seperti sekarang saya menunggu emosi saya pergi. Menunggu kesadaran saya kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggu satu saat nanti ia mengerti. Satu saat nanti ia kembali.
Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan memerhatikannya yang sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka. Ada puisi di dalamnya.

Air dapat memelukmu, tapi tak akan membelenggumu...
Air dapat pantulkan cahayamu, tapi tak dapat jadikanmu nyata...
Saya akan menjaganya...

#Cuplikan Puisi Anaknya "Banyu"

Selasa, 11 September 2012

Permainan Api Naga, Canda Bocah Di Perumnas 3

Malam yang teduh menuju pagi yang dingin di bulan yang suci, Ketika aku sedang sedang duduk bersama cangkir yang sedang hamil mengandung kopi sembari mengigit kuaci satu persatu diruang tamu, terdengar suara serentak tawa bocah yg sedikit mendayu di depan rumah, entah apa yang membuat bocah itu tertawa. Rasa penasaran ku tergugah ingin melihatnya yg dilakukan saat bocah itu tertawa sambil berteriak "WooW", lalu aku melangkah dan menghampirinya. Ternyata aku melihat dua adikku serta teman-teman bermainnya yang sedang bermain Api Naga didepan rumah.

30 menit sudah aku berdiri menyaksikan anak-anak bermain Api Naga di pagar rumah memakai sarung dan kaos berwarna kuning. Disampingku juga tersaji dua kotak tempat sampah, satu diantara mereka terpisah sendiri. Dia menghadapku , menatapku tajam seolah-olah bertanya sedang apa gerangan wahai kukuh dsana ? aku menjawab "sedang menyaksikan keceriaan wajah polos anak-anak". heheee

Permainan yang terdiri dari Lilin (yg dibeli dari bu Pepen), tutup botol fanta, dan Sepasang batu bata (Yg diambil dari rumah Pak Toha untuk membangun rumah) juga Air Pam (yg diambil drumah nando). Permainan Api Naga ini merupakan Permainan yang sederhana dimainkan kurang lebih berusia 12 tahun mainan yang aku tidak mainkan bahkan aku sekedar melihatnya, mengundang Keceriaan, kebersamaan dan canda tawa bersama anak-anak dihalaman rumah. Yang kini, Suasana yang lama tidak aku temukan semenjak aku di utus untuk kuliah. #Lebaaayy dikiiit..!!

Kemudian, Jam dinding telah menunjukan pukul 23.00 wib, diantara dari mereka tidak ada satupun yg merasakan ngantuk atau lelah sedikitpun, apa karena mungkin mereka tidak ingin mengakhiri kebahagiaan dan keceriaan?? ataukah mungkin mereka para pengidap Insomnia seperti ku ?. hehee !! Tak begitu lama, datanglah seorang sahabatku yaitu Panji sembari membawa candaan dan ejekan yang khas di dalam permainan Api Naga yang sedang berlangsung, ikut menambah dan meramaikan suasana di keheningan malam yang mistis.

Detik demi detik waktu pun terus berlalu, malampun semakin larut. Sebelum menyelesaikan Permainan Api Naga ada kejadian paling menarik disesi terakhir dipermainan sedang berlangsung. Salah satu teman diantara mereka yaitu bernama Nando (Temen adikku). Kejadiannya, ketika tutup botol itu sudah menyala Nando diberi kesempatan menyepretkan air ke arah tutup botol yg sedang terbakar disesi terakhirnya . Tapi sayang, Tiba saja Dendy dengan sigap dan cepat (seperti kapal Jet tempur milik Amerika yang berkobar), langsung iseng menyepretkan air ke tutup botol yang menyala sebelum didahului oleh Nando. Lantas Nando yg terlanjur merasa malu dan kecewa, lalu ia gunakan air yg ditangannya untuk membasuh muka supaya mengurangi rasa kemaluannya.

Dengan segera aku, Panji, Herni, Febi, Bowo, Fauzi dan Ambar segera mengambil sikap untuk tidak bisa menahan nafsu dari godaan untuk tertawa. Pecahlah ruang kebodohan dan keheningan menjadi ramai tak terkendali seperti pesawat sukhoi yang menabrak Gunung Salak. Ramai porak poranda. hahaa !! Sekarang suasana itu semua tersimpan rapih di memori kepalaku yang paling dalam. Suasana keceriaan itu aku dapatkan di Jl. Flores 2 Perumnas 3, Bekasi Timur.

Penulis : Kukuh Tri Wijiantara, Pukul 24.00 Tanggal 30 Juli 2012. Seorang mahasiswa penikmat sastra yang melek di malam hari.

Scooter Vespa, Kau adalah bagian dari kegembiraan.

Vespa Scooter ku yang bentuknya mirip Kawasaki Ninja versi kembung itu masih kusimpan di teras depan rumah. Aku belum berniat menjualnya meski orang lain menawarkan dengan harga tinggi. Di badannya yang mulai karatan, masih tersimpan rapih ratusan senja yang pernah kita lewati bersama.

Di joknya yang mulai rombeng masih melekat ribuan pelukan dan ciuman kasih sayang. Catnya sudah kuganti akibat kecelakaan Lima tahun silam di Kerawang sehabis pulang tour ke Bandung. Aku masih ingat bagaimana dulu kau ngotot memilih warna hijau muda, “Hijau itu warna yang teduh. Supaya membawa kedamaian ” ujarmu dalam kondisi hancur dan kritis.

Scooter Vespa yang usianya Dua puluh tiga tahun atau Tiga tahun lebih tua dariku. Kini mesinnya harus sering dipanaskan dan sesekali mesti dibawa jalan-jalan. Aku sangat menyayanginya, sekalipun kerap membuatku jengkel dan putus asa.

Pada Lampu dan Kaca Spion tersimpan gambar yang menjelaskan betapa berliku jalan yang kita susuri. Pada rodanya masih tercatat angka yang menunjukkan betapa panjang kilometer yang kita tempuh. Kau adalah bagian dari kegembiraan hidupku. Kau kan selalu kujaga dan kurawat sampai maut memisahkan kita.

Penulis : Kukuh T. Wijiantara, 28 Agustus 2012. Pukul 21.19 WIB