Senin, 15 Juli 2013

Kekalahan Timnas Jadi Konsumsi Publik

kita selalu punya kecenderungan untuk menikmati setiap rasa sakit baik secara fisik/psikis atas diri sendiri. hal itu pulalah yang malah kita upayakan agar senantiasa terkubur hidup-hidup lantas kita sepakat menyebutnya : kegilaan. akan tetapi, mau-tidak mau, sadar-tidak sadar, “yang disembunyikan” tadi tak pernah mampu sepenuhnya kita singkirkan. serapat apapun kita menahannya, ia selalu mendesak keluar demi menegaskan keberadaannya. ia sebuah kebutuhan.

baru saja, saya diingatkan televisi yang menayangkan indonesia vs arsenal, dan seketika saya tergerak untuk mengungkapkan pemahaman saya layaknya di atas.

pertandingan tersebut berkesudahan dengan skor 0-7 untuk sang tamu –arsenal.

ekstase kebanggaan masyarakat indonesia, khususnya mayoritas pemirsa sepakbola, menyeruak kala timnas mendapat kesempatan untuk mengundang kekuatan sepakbola yang levelnya jauh diatas mereka. alhasil sang idola pun satu-per-satu datang. dan salah satunya yang datang malam ini adalah arsenal. tak dapat terbayangkan dag-dig-dug gembiranya hati kita.

oh bahkan belum cukup sampai di situ, sebuah kehormatan bagi timnas adalah ketika sang tamu sepakat membawa serta lantas menurunkan skuad inti mereka. padahal kita pun sama-sama tahu, melawan skuad mudanya saja belum tentu kita dapat mengimbangi. perlu diingat pula kalau ini antara sebuah tim nasional melawan klub.

pertandingan tersebut berkesudahan dengan skor 0-7 untuk sang tamu –arsenal.

malu kah kita dengan kekalahan telak seperti itu ? alih-alih mengincar kemenangan atau setidaknya memahami bagaimana football (bola di kaki) tidak sama dengan sepakbola (bola disepak), alhasil jersey campur keringat pemain lawan yang jadi sasaran.

bagaimana dengan penonton yang hadir memadati GBK atau berjuta pasang mata di depan layar kaca ? tak jauh berbeda dengan pemandangan di kota paris, 2 maret 1757, hari dimana damiens dijatuhi hukuman mati dengan cara kedua tangan dan kakinya diikatkan pada keempat kuda yang nantinya serentak dihalau ke empat penjuru hingga bakal merobek tubuh damiens menjadi empat bagian.

siksaan kejam dengan tempo lamban ini pun memang sebuah konsumsi publik. dimana setiap mereka yang menyaksikan akan tak kalah menuangkan rasa sakit atau bahkan melakukan self-mimesis demi menyelami laknat tersebut. yang sakit itu berupa hiburan. yang liar dan kejam itu berupa seni. siksaan kejam dengan tempo lamban ini pun hadir dalam 2 X 45 !

adalah seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kita memang menikmati kesakitan itu. kita semua merayakannya. atas wacana pertandingan bertajuk “eksibisi” saja kita mungkin sudah sewajarnya merangkul kembali kegilaan yang selama ini kita jauhi dalam bingkai kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar